Sesungguhnya, kita telah lama jadi penghuni "waktu", sementara rumah telah menjelma menjadi sekadar "ruang transit". Demikian saya meminjam kutipan dalam buku karya Avianty Armand yang bertajuk "Arsitektur yang Lain : Sebuah Kritik Arsitektur". Salah satunya tentang makna rumah yang telah mengalami pergeseran nilai dan arti dari waktu ke waktu. Konsep rumah sebagai sebuah hunian yang kehilangan batas definitifnya sehingga berubah menjadi sangat elastis. Orang-orang dalam hiruk pikuk modernitas yang betah berlama-lama duduk di kafe yang berinternet, mencuri-curi waktu memejamkan mata di sela perjalanan pulang dan pergi ke kantor, bertemu sejumlah relasi di lobi hotel berbintang hingga menghabiskan makan malam bersama keluarga di restoran-restoran silih berganti. Orang-orang itu adalah kita, tak terkecuali saya. Masihkah semangkuk rindu mengepul hangat di setiap sudut ruangannya? Atau jangan-jangan dinginnya sudah menembus batas empati sang pemilik? Bagi
(Ilustrasi mata) Kalau saja ada kesempatan untuk mengulang waktu, maka salah satu hal yang ingin saya perbaiki adalah masa-masa sebelum tahun 2000. Bukan semata tentang kenangan manis masa kecil beranjak remaja, tetapi lebih karena ada satu urgensi yang mengharuskan saya untuk lebih aware lagi dengan kondisi kesehatan mata saya. Sebab menginjak tahun 2000 segalanya perlahan mulai berubah. Bermula dari jarak pandang terhadap sebuah objek benda yang mulai mengabur perlahan, seperti ada bukit kabut yang menutupi mata. Kala itu bilangan usia saya baru saja menginjak angka 13 tahun. Setiap kali membaca tulisan guru di papan tulis, saya harus bersusah payah memicingkan kelopak mata agar bisa membaca tulisan dengan jelas. Meski saat itu saya terhitung duduk di bangku depan, namun hal tersebut ternyata tak terlalu banyak membantu. Sekali dua kali tempo, saya berusaha menikmati ketidaknyamanan saya selama mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas. Awalnya saya berpikir bahwa ketidakny