Langsung ke konten utama

Postingan

RUMAHKU : TAK SEKADAR RUANG BERTUMBUH BERSAMA, TETAPI JUGA MEDAN MAGNET TERKUAT UNTUK KEMBALI PULANG

  Sesungguhnya, kita telah lama jadi penghuni "waktu", sementara rumah telah menjelma menjadi sekadar "ruang transit". Demikian saya meminjam kutipan dalam buku karya Avianty Armand yang bertajuk "Arsitektur yang Lain : Sebuah Kritik Arsitektur". Salah satunya tentang makna rumah yang telah mengalami pergeseran nilai dan arti dari waktu ke waktu. Konsep rumah sebagai sebuah hunian yang kehilangan batas definitifnya sehingga berubah menjadi sangat elastis. Orang-orang dalam hiruk pikuk modernitas yang betah berlama-lama duduk di kafe yang berinternet, mencuri-curi waktu memejamkan mata di sela perjalanan pulang dan pergi ke kantor, bertemu sejumlah relasi di lobi hotel berbintang hingga menghabiskan makan malam bersama keluarga di restoran-restoran silih berganti. Orang-orang itu adalah kita, tak terkecuali saya. Masihkah semangkuk rindu mengepul hangat di setiap sudut ruangannya? Atau jangan-jangan dinginnya sudah menembus batas empati sang pemilik?  Bagi
Postingan terbaru

AKU, CERITA SEPASANG MATA DAN TITIK BALIK KESADARAN MENJAGA KESEHATAN MATA

  (Ilustrasi mata) Kalau saja ada kesempatan untuk mengulang waktu, maka salah satu hal yang ingin saya perbaiki adalah masa-masa sebelum tahun 2000. Bukan semata tentang kenangan manis masa kecil beranjak remaja, tetapi lebih karena ada satu urgensi yang mengharuskan saya untuk lebih aware lagi dengan kondisi kesehatan mata saya. Sebab menginjak tahun 2000 segalanya perlahan mulai berubah.  Bermula dari jarak pandang terhadap sebuah objek benda yang mulai mengabur perlahan, seperti ada bukit kabut yang menutupi mata. Kala itu bilangan usia saya baru  saja menginjak angka 13 tahun. Setiap kali membaca tulisan guru di papan tulis, saya harus bersusah payah memicingkan kelopak mata agar bisa membaca tulisan dengan jelas. Meski saat itu saya terhitung duduk di bangku depan, namun hal tersebut ternyata tak terlalu banyak membantu. Sekali dua kali tempo, saya berusaha menikmati ketidaknyamanan saya selama mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas.  Awalnya saya berpikir bahwa ketidakny

IMPLEMENTASI KOKOH DAN TAHAN LAMO ALA SEMEN BATURAJA DALAM KIPRAH NYATA MEMBANGUN NEGERI

Dulu sebelum menikah, dunia konstruksi adalah hal yang sangat asing bagi saya. Bak seorang awam yang buta sama sekali dengan segala sesuatu berbau rancang bangun, itulah saya kala itu. Namun setelah menikah, pelan tetapi pasti kehidupan saya justru semakin dekat dengan dunia tersebut. Memiliki pasangan hidup dengan background profesi sebagai konsultan perencana sekaligus konsultan supervisi membawa saya pada dimensi baru mengenal seluk beluk tentang dunia bangunan. Denah, tampak, potongan, gambar 3D, kolom, sloof , hingga bekisting menjadi rangkaian kosakata yang familiar di telinga saya kini. Bak mendayung dua tiga pulau terlampaui, akhirnya saya malah mendapatkan kesempatan belajar gratis dari beliau.  Perjalanan awal pernikahan membawa kami pada satu komitmen untuk hidup mandiri, lepas dari bayang-bayang orang tua dan tinggal di sebuah rumah petak kecil yang tak jauh dari pusat kota. Pernah suatu hari ketika kami baru saja menempati rumah tersebut, secara tidak sengaja saya melihat