Hidup adakalanya menawarkan sesuatu yang berbeda di setiap liku perjalanannya. Begitupun dengan perjalanan waktu dan rasa yang saya alami. Tentang konsep pernikahan yang pada akhirnya membuka pola pikir saya tentang definisi "mengenal" dalam arti sesungguhnya, di luar makna yang ditinjau dari sudut pandang agama dan keyakinan. Melainkan tentang bagaimana rasa itu melebur untuk kemudian luruh dalam sebuah proses bernama jatuh cinta pada keberagaman situasi dan kondisi di mana pasangan hidup saya menghabiskan masa kecil hingga pra nikahnya di tanah kelahiran yang unik dalam pandangan saya.
(Sumber Foto : Dok. Pribadi)
Memiliki pasangan hidup yang berasal dari wilayah pesisir pantai utara di Jawa, membawa rasa kesyukuran tersendiri di hati. Betapa tidak, karena setiap jengkal perjalanan saat pulang ke kampung halamannya selalu membawa cerita seru berbalut rindu untuk dikenang. Tentang aktivitas mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar bertumpu pada sektor kelautan dan pertanian. Tentang etos kerja dan ketangguhan para nelayan kecil saat melepas jala, tanpa menafikan bahaya ombak besar dan cuaca buruk yang sewaktu-waktu menghantui pekerjaan mereka. Tentang aroma aktivitas kehidupan yang menguar di tempat pelelangan ikan terbesar di Jawa Timur, ladang mengais rezeki dalam rangka ikhtiar mengisi periuk nasi di rumah. Pun tentang keindahan laut pantai utara yang tak kalah menarik untuk ditelisik. Hamparan laut bermandikan cahaya langit selalu memanjakan mata bagi siapa saja yang melihatnya, menawarkan rindu menggebu untuk senantiasa dikunjungi. Apalagi bagi dua balita saya yang sedang bertumbuh. Sah sudah dalam diri mereka mewarisi genetik sang ayah, menjelma menjadi bocah pesisir, menjadikan laut sebagai rumah kedua di hatinya. Tempat tinggal sang ayah yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari lautan lepas tanpa disadari telah menumbuhkan tunas rasa dalam hati mereka. Kecintaan pada lautan.
(Sumber Foto : Dok. Pribadi)
Bercerita tentang asal usulnya, pasangan hidup saya menghabiskan masa kecil hingga pra nikahnya di sebuah desa kecil bernama Desa Sedayulawas yang terletak di kecamatan Brondong, kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Atmosfer suasana desa yang agamis dan religius makin terasa manakala saya menjejakkan kaki ke sana. Maklum, seluruh penduduk desanya memeluk agama Islam. Sehingga bisa dibayangkan, betapa hidup ajaran Islam di sana. Surau-surau kecil banyak berdiri, sejalan dengan pembangunan sejumlah masjid besar dan pondok pesantren. Bila terdengar suara adzan berkumandang, hilir mudik warga berbondong-bondong datang memenuhi masjid-masjid maupun surau-surau kecil yang ada di sana.
Tentang karakteristik penduduk desanya, masyarakat Desa Sedayulawas memiliki ikatan rasa yang erat, kuat dan murni. Tak heran bila saya masih sering menjumpai aktivitas pagi warga di sana yang saling bercengkerama sembari menyesap aroma kopi di warung-warung kopi sederhana, sebelum memulai rutinitas kerja harian mereka, baik di ladang maupun laut.
Dalam hal budaya, ada satu nilai kearifan lokal yang masih dipertahankan hingga kini, yaitu tradisi Kupatan. Sebuah tradisi berlatar belakang budaya lokal setempat yang menitikberatkan pada kegiatan makan bersama menu ketupat sayur bersama keluarga inti juga para handai taulan yang dilakukan pada hari ke tujuh setelah perayaan hari raya Idul Fitri. Uniknya, kegiatan makan bersama tersebut bukan dilakukan di rumah masing-masing, melainkan di sebuah tempat bernama Gunung Menjuluk, sebuah dataran tinggi dengan kontur tanah yang semi landai. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua keluarga saja, melainkan sebagian besar anggota masyarakat setempat lainnya juga berbondong-bondong membawa sanak keluarganya datang ke Gunung Menjuluk dan menggelar tikar tak ubahnya berkonsep acara piknik bersama. Sangat mengasyikkan.
Berbicara tentang aktivitas masyarakat, pun tak lepas dari mata pencaharian penduduknya. Berlatar belakang geografis berupa wilayah pesisir, itu artinya sebagian besar penduduk desa ini menggantungkan harapan hidupnya dari sektor kelautan. Menjadi nelayan adalah salah satu pekerjaan sehari-hari mayoritas penduduk Desa Sedayulawas hingga saat ini. Hasil tangkapan laut akan mereka bawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong. Sebuah tempat pelelangan ikan terbesar di Jawa Timur, yang jaraknya pun tak jauh dari tempat tinggal suami saya. Aktivitas di sana mulai berdenyut dini hari jelang waktu pagi hingga sore hari tiba.
(Sumber Foto : Dok. Pribadi)
Hasil tangkapan laut yang telah melalui proses jual beli, akan didistribusikan ke berbagai pihak, diantaranya para tengkulak dan pabrik olahan ikan. Banyak berdiri pabrik olahan ikan di sepanjang Jalan Raya Daendels, jalan besar perbatasan antara provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang juga menjadi akses masuk ke wilayah desa Sedayulawas.
Seperti namanya, Jalan Raya Daendels memiliki riwayat cerita yang tak lepas dari sejarah bangsa Indonesia di masa lalu. Karena secara geografis, Kabupaten Lamongan termasuk dalam kawasan jalur pantura, dimana terbentang luas lebih kurang mencapai seribu kilometer dari pucuk barat hingga ujung timur pulau Jawa, mulai dari Anyer, Serang, Banten, hingga Panarukan, Situbondo, Jawa Timur.
Jalur panjang bersejarah itu tak ubahnya transformasi dari jalan tol di Era Hindia Belanda yang dibangun pada tahun 1808 hingga 1811. Mega proyek ambisius yang dibangun dengan cara kerja paksa atau kerja rodi, dimana pada saat itu pucuk kepemimpinannya berada di tangan seorang Gubernur Belanda bernama Herman Willem Daendels. Kini, jalur itu lebih familiar dengan sebutan Jalan Raya Daendels. Sebuah sebutan yang sangat melekat di benak masyarakat pantura, dimana secara tidak langsung terjadi genosida massal mengerikan sepanjang sejarah penjajahan bangsa Indonesia. Betapa tidak, puluhan ribu rakyat pribumi harus meregang nyawa akibat kerja rodi yang tanpa henti dan sama sekali minim akan upah yang layak.
Namun, terlepas dari kelamnya masa kolonialisme Belanda di masa lalu, seiring jalannya waktu, saat ini Jalan Raya Daendels menjadi rute transportasi darat yang sangat strategis. Kini, jalur itulah yang menjadi poros utama yang akan dilalui jika ingin menuju ke kawasan wisata di kabupaten Lamongan. Sebut saja Wisata Bahari Lamongan (WBL), Mazola, Pantai Lorena, Makam Maulana Ishaq atau Makam Ayah Sunan Giri. Bila melewati jalan tersebut, akan banyak dijumpai lapak pedagang kaki lima yang berjejer menawarkan jajanan pasar sampai aneka oleh-oleh khas Lamongan. Mulai dari jumbrek, rujak manis Paciran, hingga es dawet siwalan (es dawet ental).
Jumbrek, jajanan unik bertekstur kenyal berbahan dasar tepung beras dicampur santan dan gula siwalan, kemudian diadoni hingga kalis, lantas dibungkus daun siwalan dan dibentuk mirip corong/teropong, selanjutnya dikukus hingga matang. Tak jarang penjual juga menambahkan potongan-potongan kecil nangka ke dalam adonannya sebagai penambah rasa. Cara memakannya pun tak kalah unik. Bagi para pemula, pasti akan bingung memakannya, mengingat bentuknya yang mirip dengan corong atau teropong, maka bukan dengan cara membuka kulit lontar pembungkus jumbreg, melainkan dengan cara tangan kiri memegang sisi jumbrek bagian atas, sementara tangan kanan mendorong bagian bawah jumbrek ke atas. Unik bukan?
(Sumber Foto : Kompasiana.com)
Jumbrek adalah kudapan khas Paciran, sebuah wilayah kecamatan yang berada di timur Desa Sedayulawas. Di sana banyak warung kecil beratapkan daun rumbia yang menjual makanan ini sekaligus kuliner lain yang cocok disandingkan dengannya, yakni es dawet siwalan (masyarakat pantura banyak yang menyebutnya dengan sebutan es dawet ental).
Sejatinya banyak ditemui deretan pohon siwalan (pohon lontar) tumbuh subur di sepanjang jalan di daerah Paciran. Dan berbeda dengan es dawet pada umumnya yang terbuat dari bahan tepung beras atau tepung tapioka, es dawet siwalan ini menggunakan buah pohon siwalan sebagai isiannya. Namun justru di situlah keunikannya, karena es dawet ini jarang bisa kita jumpai di daerah lain, apalagi di daerah yang bercuaca dingin seperti kampung halaman saya di Malang. Mengingat pohon siwalan yang hanya dapat tumbuh di daerah kering saja.
(Sumber Foto : ksmtour.com)
Selain dijual dalam bentuk es dawet, banyak pedagang yang menjual siwalan langsung tanpa diolah terlebih dahulu. Buahnya yang terbungkus dalam kulit keras berwarna coklat berbentuk bola, sepintas memang mirip seperti kolang kaling dengan daging buahnya yang berwarna putih bening. Namun yang membedakan, buah siwalan mempunyai ukuran yang jauh lebih besar dengan daging buah berbentuk bulat pipih dengan tekstur menggelembung menjadi dua di bagian atasnya, berbeda dengan kolang kaling yang berbentuk oval dan kecil.
Menikmati segelas es dawet siwalan ditemani semilir hembusan angin yang berasal dari lautan lepas, tepat di belakang warung beratap rumbia khas warung pinggir jalan di daerah pantura, menjadi surga tersendiri bagi kami. Suasana terik khas pantura seketika menjadi asyik tatkala menikmati kesegaran es dawet siwalan dan kudapan jumbreg, juga rujak buah khas Paciran.
Hmmm, menuliskan ini semua sembari membayangkan kelezatan rujak buah dipadu es dawet siwalan, pada akhirnya membawa kerinduan yang menggebu di hati saya, sembari satu persatu rencana lantas tersusun sedemikian rapi dan siap untuk diabadikan dalam perjalanan rasa (semoga) dalam waktu dekat ini. Bagaimana dengan Sahabat semua? Tidakkah tertarik untuk menjadikan Lamongan sebagai alternatif destinasi wisata suatu hari nanti? Semoga Covid-19 segera menghilang dari bumi ini yaaaโฆ, dan kita semua bisa bebas on vacation tanpa harus khawatir akan bahaya virus tersebut.
Sumber Referensi :
https://kediripedia.com/napak-tilas-jalan-daendels-lamongan/
https://ksmtour.com/pusat-oleh-oleh/oleh-oleh-khas-lamongan/jumbrek-karmini-manis-dan-legit.html
https://ksmtour.com/wisata-kuliner/kuliner-lamongan/es-dawet-siwalan-minuman-enak-dan-segar-khas-lamongan.html
seger banget es lontarnya. Eh, dinamain jl daendels apa karena dulu yang bikin jalannya daendels ya?
BalasHapusYupp, Jalan Daendels memang dibangun pada masa kepemimpinan Gubernur Daendels, yg familiar dengan istilah kerja rodi ๐
HapusJadi pingin kesana dengan cerita sejarah dan kulinernya yang luar biasa. Apalagi suasana pesisirnya semakin merindu untuk dikunjungi.
BalasHapusBener banget mba, yuk mari diagendakan bersama keluarga. Ngetrip tipis-tipis sembari menikmati semilir angin laut pantura ๐
Hapuspagio-pagi lihat ini jadi pengen nyari jumbrek dan dawet, nyam nyam
BalasHapusLebih enak lagi bila disajikan ketika siang hari, kala cuaca terik menyapa ๐
HapusMbak asli Lamongan?
BalasHapusSaya Bojonegoro.
Segernya es siwalan. Dumbrek. Kalo di sini dumbek. Enak. Jajan masa kecil
Salam kenal mba Nitis ๐ saya asli bumi Arema, suami yg asli Lamongan, lebih tepatnya wilayah pesisir. Btw, di sana sebutannya dumbrek y mba? Baru tahu saya ๐
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusEs dawet siwalan nya bikin ngiler
BalasHapusYupp, dan khas pula karena dawetnya berbahan dari siwalan ๐ dinikmati siang hari nikmaat sekaliii ๐
HapusWah baru tau di Lamongan ternyata ada hidden gems berupa pelabuhan. Aku tertarik banget sama es dawetnya, ya ampun keliatannya seger banget.
BalasHapusHihi, iyaa mba..segerr banget memang dan khas, karena berbahan dasar siwalan๐
Hapusduh, pagi-pagi baca artikel ini jadi lapeeeer.. es dawetnya menggoda iman sekali :D
BalasHapusmakasih sudah sharing mb, ternyata banyak yg perlu dicoba :D
Seger banget es dawetnya, ditambah ngangenin pula suasana pesisir di sana ๐
HapusFokus sama es nya apalagi cuaca makassar saat ini panas terik matahari
BalasHapusNahh, benerr... cocok sekali disajikan kala cuaca panas, apalagi minumnya langsung di warung beratap rumbia di pinggir pantai ๐
HapusMbak, kok nggak nyinggung sotonya. Sy sangat suka soto lamongan lho... ๐
BalasHapusIndeed ๐ soto memang merupakan kuliner khas dari Lamongan, namun di lingkungan tempat tinggal suami saya di Desa Sedayulawas, kuliner yg menjadi ikon yaitu masakan berbahan dasar ikan. Untuk kudapannya ada jumbrek, dan dawet siwalan. Fyi, walaupun sama-sama berada di kabupaten Lamongan, namun masing-masing desa memiliki kuliner yg khas ๐
HapusAsik ya mbak Deket panti. Tapi panas gak sih? Salam dari Jember
BalasHapusSalam kenal juga mba ๐ panas sekali, secara wilayah pesisir ๐
HapusJumbrek? Baru tau... Saya taunya clorot wkwk
BalasHapusClorot itu apa ya ๐ sejenis jumbrek kah?
HapusAku pernah baca, sesungguhnya kerja rodi itu tidak benar, sebab pemerintah Belanda sudah menghitung gaji untuk upah buruh dan diserahkan kepada perwakilan di Imdomesia untuk dibayarkan namun tidak diserahkan, dikorupsi, Allahu 'alam, entah mana yang benar..๐
BalasHapusYup, tetapi tetap saja selalu ngeri ketika membayangkan masa-masa itu, kerja di luar batas hingga menyebabkan kematian dan genosida massal (walaupun jika memang benar upah sudah ditunaikan dengan sesuai).
Hapusudah lama gak makan es dawet siwalan ๐ฅบ
BalasHapusNgangenin ya rasanya ๐ segernya khas... Btw mba yusriah tinggal di pantura juga kah?
HapusTerbawa hanyut suasana disana, walaupun blm pernah ksn, ceritanya jg merupakan cerita sejarah yang di kemas apik
BalasHapusTerimakasih banyak mba ๐ ๐ memang idenya dalam rangka mengangkat tema sejarah dan nuansa kearifan lokal masyarakat Lamongan ๐
HapusMasya Allah indahnya, membaca kisah kehidupan di desa terharu rasanya. masih kuatnya ikatan persaudaraan yang dilandasi oleh ikatan agama yang kuat. Membahagiakan, keren Mba
BalasHapusYup, nuansa di pedesaan yg jauh berbeda dengan situasi perkotaan, terutama dalam hal ikatan kerukunan, pun dengan suasananya yg selalu membawa rindu tersendiri untuk senantiasa dikunjungi ๐ Terima kasih mba Soraya atas apresiasinya ๐๐
HapusPantura surga seafood. Suasana pantai, olahan sea food, minuman segar....ah jadi pingin
BalasHapusNahhhh, benerr banget mba Tri ๐ setiap kali mudik ke kampung halaman suami, lidah ga pernah berhenti dimanjakan oleh aneka olahan seafood yg rasanya khas banget ala masakan pesisir. Plus bonusnya... Seafood segar yg ga pernah saya temui di kampung halaman saya. Secara jauh dari pantai tempat tinggal saya๐
HapusEs dawetnya bikin ngiler mba. Aku belum pernah coba es dawet siwalan. Di sini ada pohon lontar tapi jarang banget.
BalasHapusHihi iyaa...segerr banget mba rasanya, khas minuman orang pesisir ๐
HapusWaah sharingnya jadi bikin saya pengen nyoba main ke jalur pantura
BalasHapuskulineranna sedep-sedep tuh kayaknya ๐คญ
Betul sekali mba Ishmah ๐ yuk mari agendakan โค
HapusPas baca Pantura bayangan aku daerah Jateng misal Tegal, Brebes, dll dan berpikir kalau kita akan satu kampung mba hehehe...eh ternyata masih daerah Jatim.
BalasHapusMakasih atas sharingnya mba, jadi tahu ada makanan namanya Jumbrek..unik. Itu rasanya apa mba? Maniskah?.
Yup, selama ini pantura identik dan familiar dengan wilayah Jawa Tengah ๐ padahal Jawa Timur bagian pesisir meliputi Lamongan dan Tuban pun juga masih bagian dari wilayah pantura ๐
HapusJumbrek rasanya legit dan kenyal mba, terkadang ada campuran buah nangka untuk penambah aroma dan rasanya ๐
Jadi ingin tahu gimana itu rasanya jumbrek...
BalasHapusEs nya terlihat segar sekali ya. Selalu ada cerita tersendiri ya kalau nikah dg orang yang jauh atau beda daerah
Benar sekali mba โค pernikahan selain menyatukan dua pribadi, juga memberikan pengalaman seru tentang apa saja yg tidak pernah kita jumpai sebelum menikah, seperti cerita tentang kampung halaman pasangan beserta segala pernik khas yg ada di sana ๐
HapusEs dawetnya sungguh menggoda jadi haus. MasyaAlloh pernikahan sangat luar biasa bukan hanya menyatukan pria dan wanita.
BalasHapusBenar sekali, selalu ada hikmah yg manis dari setiap episode perjalanan hidup manusia, dan pernikahan adalah salah satunya ๐โค
HapusSuasana perkampungan seperti itu yang bikin teringat masa lalu. Zaman sekarang, di perkampungan pun terkadang para warganya tidak terlalu memiliki ikatan kekeluargaan yang erat.
BalasHapusYup, betul sekali mba Monic โค. Perkembangan zaman membuat masyarakat sedikit demi sedikit mengalami pergeseran nilai menjadi kaum anti sosial.
HapusWah sesama malang nih mba... Liat si legit jumbrek jadi kepengen mba
BalasHapusSalam kenal mba Manda ๐ค Wah, dari Malang juga yaa...toss โค hayuk melipir ke Lamongan bagian pesisir ๐
Hapus