Langsung ke konten utama

MENJADIKAN MOMEN PERSALINAN SEBAGAI BAGIAN DARI PERJALANAN SPIRITUAL


Berbicara tentang proses persalinan, seperti menghadirkan dejavu tersendiri dalam ingatan saya. Setiap detail prosesnya terekam sempurna di benak memori. Mungkin inilah yang dinamakan naluri seorang ibu. Berkaitan dengan hal itu sekaligus dalam rangka mengikuti event Blog Competition Ibupedia, maka izinkan kali ini saya berbagi kisah tentang pengalaman persalinan putri kedua saya 21 bulan yang lalu.


Annisa, begitu nama indah yang saya sematkan untuk putri kedua saya. Dalam perjalanan hidup saya, Allah menganugerahkan rezeki berupa janin dalam kandungan saya tepat di saat usia si sulung menjelang enam belas bulan. Menjalani masa-masa kehamilan di tanah rantau Sumatera hanya bertemankan suami dan si sulung Assyifa, tentunya membawa pengalaman baru untuk saya.


Masa-masa trimester awal kehamilan menjadi salah satu momen tak terlupakan selama kehamilan Annisa. Betapa tidak, drama hiperemesis parah hingga membuat berat badan turun drastis hanya dalam waktu beberapa saat saja, ditambah sepaket tanggung jawab sebagai seorang istri sekaligus ibu yg acapkali membuat diri dilanda mood swing dan lelah bertubi-tubi, juga menjadi pengalaman tak terlupakan saat itu. Fyi, saya mengalami hiperemesis hingga trimester akhir kehamilan.


Singkat cerita, dengan mempertimbangkan satu dan lain hal, akhirnya suami memutuskan untuk resign dari pekerjaanya ketika usia kandungan saya menginjak tiga bulan. Itu artinya kami sekeluarga harus pulang ke kampung halaman di Jawa. Ada rasa lega mengisi hati, mengingat menjalani kehamilan di tanah rantau tanpa sanak saudara sejujurnya terkadang membawa saya pada perasaan yang serba susah. Mood swing yang sering melanda, perasaan rindu pada orang tua dan segala hal yang berhubungan dengan kampung halaman, baik suasana, kuliner dan segala pernik yang menghiasi turut membuat saya larut terbawa perasaan. Atau sepertinya ini juga bagian dari efek hormon kehamilan yang fluktuatif itu?. Hehe, semoga saja begitu 😁.


Momen trimester kedua hingga proses persalinan saya lalui di kampung halaman di Malang. Hamdalah pada akhirnya bisa menghirup udara sejuk khas kota tercinta. And hey, please be nice Baby. 😉


Oh ya, belajar dari pengalaman kehamilan anak pertama yang masih minim akan ilmu, di trimester kedua kehamilan anak kedua kala itu, saya memberanikan diri menggali informasi lebih dalam tentang hypnobirthing melalui media sosial. Kali ini saya dipertemukan dengan akun instagram @bidankita milik bude Yessie Aprilia, seorang bidan sekaligus pakar hypnobirthing dan gentle birth. 

 

Fyi, sebenarnya di persalinan anak pertama sebelumnya, alhamdulillah Allah memberikan kesempatan saya untuk merasakan proses kelahiran secara alami dan menjalani salah satu bagian dari proses gentle birth yakni penundaan pemotongan tali pusat, atau yang lebih dikenal dengan istilah Delayed Cord Clamping (DCC). Yakni sebuah tindakan penundaan pengkleman dan pemotongan tali pusat dimana tali pusat tidak dijepit/dipotong hingga setelah denyutan berhenti atau hingga setelah plasenta lahir seutuhnya. Adapun manfaat dari tindakan DCC ini adalah memberi kesempatan sel darah merah, sel-sel batang dan sel kekebalan untuk ditransisi ke tubuh bayi di luar rahim. Sementara bagi sang ibu, tindakan DCC bertujuan untuk mengurangi komplikasi pasca persalinan, seperti pendarahan. 


Kembali ke persalinan anak pertama yang berjalan alami, namun sayangnya karena terkendala minimnya ilmu yang saya miliki pada saat itu, ternyata menyisakan trauma tersendiri pasca persalinan. Pada akhirnya semakin bulat tekad saya untuk lebih memberdayakan diri di perjalanan kehamilan kedua. 


Trimester kedua segalanya berjalan dengan apa adanya. Hingga memasuki trimester akhir kehamilan, tepatnya di usia kandungan tujuh bulan, hasil USG menunjukkan letak bayi dalam posisi sungsang dan terdapat satu lilitan tali pusat. Oh my...🙁


Bidan tempat saya memeriksakan kehamilan menyarankan untuk banyak melakukan pose menungging/bersujud untuk mengembalikan posisi bayi sesuai dengan letaknya. Singkat cerita saya pun mempraktekkan saran dari bidan tersebut. Di sisi lain saya juga terus berusaha menggali informasi di akun instagram dan website @bidankita. Sampai pada akhirnya saya dipertemukan dengan beberapa gerakan yoga sederhana yang bertujuan memberikan stimulus agar janin kembali ke posisi yang seharusnya. 


Beberapa gerakan yoga sederhana yang dimaksud adalah butterfly pose, child pose dan cat cow pose. Alhamdulillah setelah berkali-kali melakukan beberapa gerakan yoga tersebut, hasil USG di bulan ke delapan usia kandungan, menunjukkan hasil yang bagus. Letak bayi tidak lagi berada di posisi sungsang, melainkan sudah kembali normal.


Memasuki trimester akhir kehamilan, tepatnya di minggu ke-37, masih belum ada tanda-tanda persalinan akan terjadi. Hal tersebut berlangsung hingga minggu ke-41. Honestly, ada perasaan cemas menghantui saya kala itu, walaupun pengalaman persalinan anak pertama juga terjadi di minggu ke-41. Namun yang membedakan, tanda persalinan anak kedua bahkan belum muncul juga hingga minggu ke-41 berlalu 🙁. Walaupun segala upaya sudah dilakukan termasuk dengan mencoba induksi alami, salah satunya adalah dengan memperbanyak konsumsi buah nanas yang menurut penelitian mengandung enzim bromelain dimana berfungsi melembutkan dinding serviks sehingga menyebabkan kontraksi pada rahim dan memicu terjadinya persalinan. Namun, sayangnya, induksi alami dengan cara tersebut tetap tidak membuahkan hasil.


Tanda-tanda persalinan yang tak kunjung datang membawa saya pada alternatif selanjutnya, yaitu tidak lagi memprioritaskan diri untuk bersalin di bidan, melainkan di rumah sakit. Mendengar kata rumah sakit, sebenarnya hati sudah mencelos duluan. Namun saya berusaha mengazamkan dalam hati bahwa bila memang kehendakNya, bersalin dimanapun ya sudah terjadilah. Saya berusaha menghibur diri di tengah situasi yang belum jelas kepastiannya saat itu.


Sampai di RS, saya beruntung bisa bertemu dengan provider yang membuat saya nyaman berdiskusi tentang kehamilan yang hampir lewat dari waktunya (post date). Beliau adalah dr. I Wayan Agung Indrawan, Sp.OG. Walaupun di pertemuan kedua, tepatnya di minggu ke-42, beliau sempat memberikan opsi kepada saya untuk menjalani operasi SC siang hari itu juga dikarenakan sudah melewati HPL 😥. Namun, beliau tidak memaksa, hanya memberikan opsi di antara opsi lain yaitu mencoba tindakan induksi untuk merangsang pembukaan jalan lahir.


At least, setelah berdiskusi dengan suami, saya pun memutuskan untuk mencoba tindakan induksi, berharap dengan tindakan tersebut bisa merangsang terjadinya pembukaan dan bisa melahirkan secara normal. 


Setelah mendengarkan penjelasan dari dr. Wayan, akhirnya kami pulang ke rumah untuk mempersiapkan perlengkapan melahirkan, untuk kemudian kembali lagi ke RS pada malam harinya.


Sampai di rumah, disambut si sulung yang kala itu berusia 25 bulan. Saya sempatkan waktu untuk menemaninya tidur siang, memandikan, menyuapi makan sore hingga mengajaknya bermain sesaat sebelum saya berangkat ke RS. 


Tibalah waktunya saya berangkat ke RS. Saat itu ibu mendekati saya. Seperti pengalaman jelang persalinan anak pertama, ibu selalu merapal doa untuk kelancaran persalinan saya. Begitupun jelang persalinan anak kedua kala itu, saya tahu beliau perbanyak mengaji dan bersujud kepada Allah untuk memohonkan yang terbaik untuk proses persalinan saya. 


Beliau sempatkan membaca surat Al-Kahfi dan memberikan air doa tersebut untuk saya minum, sebagian juga beliau usapkan di atas perut saya, sembari merapal doa dan berkomunikasi dengan bayi di perut saya. Ibu berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebihnya beliau berucap, "Nak, pintar ya di dalam perut ibu. Nanti kamu langsung lahir, meloncat sendiri sebelum dokternya datang". Saya tersenyum dan mengaminkan dalam hati setiap bait doa baik yang beliau rapalkan untuk saya.


Selepas maghrib, saya bersama suami dan dua orang saudara akhirnya berangkat ke RS. Memasuki ruang IGD, menjalani proses cek detak jantung bayi dan VT (Vaginal Touche), dan alhamdulillah ternyata sudah terjadi pembukaan 1. Rasa macam tak percaya, mengingat di persalinan anak pertama, saya melalui proses bukaan pertama dengan ekspresi kesakitan yang luar biasa. Berbeda dengan persalinan anak kedua ini, saya sama sekali tidak merasakan sakit.


Next progress, perawat menyuruh saya mengganti gamis yang saya kenakan dengan baju bersalin yang sudah disediakan oleh pihak RS, kemudian mengantarkan saya ke ruang bersalin untuk menjalani tindakan induksi. Induksi dilakukan sekitar pukul 20.00 malam, tetapi baru terasa efeknya jelang pukul 23.00. Rasa sakit saya rasakan, namun masih berada di ambang batas kesakitan saya, sehingga saat itu yang saya lakukan hanya fokus untuk berdzikir, Laa Ilaa Ha Illallah. Sembari berafirmasi positif dengan tetap menyunggingkan senyum di kala kontraksi melanda. 




Tentang ilmu afirmasi positif ini, saya pelajari juga di page @bidankita dan @rumahbidanrina (klinik tempat saya melahirkan anak pertama dulu). Intinya bila bibir atas tersenyum, maka "bibir bawah" juga akan tersenyum. Dalam arti bila kita tersenyum, maka akan memudahkan serviks untuk melunak sehingga semakin mempercepat proses persalinan. Kebalikannya, di saat kita berteriak saat kontraksi melanda, selain menghabiskan energi, hal tersebut juga membuat simpul saraf menegang sehingga seringnya malah membuat kita stress dan persalinan macet. Oh ya, berbicara tentang afirmasi, afirmasi positif juga bisa dilakukan pada saat proses mengejan. Dimana tips mengejan selama persalinan tersebut juga bisa kita pelajari  di web Ibupedia.


Kembali di momen manakala kontraksi melanda waktu itu, saya tarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya pelan selaras dengan dzikir yang saya lantunkan dan senyum yang tersungging di bibir saya. Dalam keheningan malam kala itu, saya berada di titik pasrah dan mencoba menikmati setiap rasa sakit yang datang tanpa jeda. Qadarullah, rasa sakit yang saya rasakan tak sesakit saat persalinan anak pertama. Malah lebih sakit ketika konstipasi dibandingkan dengan sakitnya menahan kontraksi pada waktu persalinan anak kedua 😁.


Next progress, tetiba ada rasa ingin buang air besar (BAB) yang melanda diri. Refleks mengejan saya terjadi saat itu juga. Suami segera keluar dari ruang bersalin dan memberi tahu bidan jaga. Tak berselang lama, bidan masuk ruang bersalin dan melakukan VT sekali lagi. Dengan ekspresi datar dan tanpa mengucap apa-apa bidan jaga keluar kembali dari ruang bersalin. Tak berselang lama sekali lagi, hanya berjeda sekitar satu menit setelahnya, rasa ingin mengejan datang kembali. Dengan sekuat tenaga menahan agar tidak mengejan, namun apa daya selalu gagal. Saya merasa ini "waktunya". Saya pun memberi aba-aba kepada pak suami untuk memberi tahu bidan jaga tentang kondisi saya saat itu. Beliau pun keluar dari ruang bersalin untuk kali kedua.


Sendirian di ruang bersalin dan rasa ingin mengejan itu muncul lagi. Kali ini, dorongan untuk mengejan jauh lebih besar dari sebelumnya. Di sela rasa tersebut, saya pun masih bisa mendengar suara kereta dorong berisi peralatan persalinan melaju cepat diiringi langkah beberapa orang dewasa menuju ruang bersalin yang saya tempati.


Saya ingat saat itu, salah satu bidan jaga telah sampai di depan ruang bersalin dan sedang bersiap membuka tirainya. Beliau memberi aba-aba dengan sedikit nada tinggi agar saya tidak mengejan terlebih dahulu. Namun, apa daya, teori tak semudah prakteknya. Tanpa mengindahkan ultimatum bidan jaga tersebut, saya mengejan dengan sangat lembut, tanpa jeritan dan suara teriakan. Tak berselang lama, setelahnya terdengarlah suara tangis bayi menggema. Pak suami sempat terkejut karena beliau tidak menyangka di saat beliau membuka selimut tipis saya, ternyata sudah ada bayi mungil teronggok manja sembari menunjukkan tangisnya.



Masyaa Allah Tabarakallah 😊


Dua bidan jaga pun tak kalah terkejutnya, namun mereka tetap berusaha menguasai keadaan, dan selanjutnya membantu proses kelahiran plasenta. Di titik ini, saya tetiba teringat ucapan ibu menjelang keberangkatan saya ke RS. Beliau berdoa semoga persalinan saya lancar, si jabang bayi lahirnya "meloncat", sebelum dokter datang. Ya, bayi mungil saya memang lahir dengan keadaan "meloncat", dalam definisi proses kelahirannya yang berlangsung dengan sangat indah, sebelum bidan dan dokter memimpin prosesnya, pun tanpa intervensi tindakan medis lain, kecuali induksi. Tak henti hamdalah saya lantunkan dalam hati. Allah mengijabah doa orang-orang baik di sekeliling saya, termasuk doa ibu saya.


Rasa syukur tak henti saya ucapkan manakala mendengar kabar baik selanjutnya. Yaitu, persalinan anak kedua yang saya alami waktu itu ternyata tidak menimbulkan robekan perineum/jalan lahir, sehingga bidan yang memeriksa memutuskan untuk tidak memberikan jahitan. Itu artinya, saya merdeka jahitan 😊. Efek positifnya, saya tidak merasakan sakit di jalan lahir ketika berjalan dan beraktivitas lainnya, sehingga itu memudahkan saya untuk bisa langsung merawat bayi saya pasca kelahirannya. 


And finally, belajar dari pengalaman persalinan anak kedua saya, saya berada pada titik kesimpulan dalam memaknai proses persalinan. Bahwa melahirkan bukanlah sesuatu yang menyakitkan bila kita mau berusaha untuk memberdayakan diri dan menikmati setiap prosesnya. Persalinan juga bisa menjadi sarana kita bertawakal atas ketetapan Allah, sebagaimana Allah menetapkan proses kehamilan dan persalinan itu sebagai fitrah yang harus dijalani oleh para perempuan di muka bumi ini. Jadikan proses kehamilan dan persalinan kita sebagai momentum meletakkan titik pasrah kita hanya kepada Allah. Terakhir, jangan pernah abaikan setiap doa baik yang dilantunkan oleh orang-orang di sekitar kita. Karena bisa jadi, justru dari doa orang-orang baik tersebut lah yang bisa mengantarkan kita menuju keridhaan Allah, dan menjadi jalan dilancarkannya segala hajat kita. 


Terima kasih telah berkenan membaca tulisan saya. Tanpa bermaksud mendiskreditkan peran ibu yang melahirkan dengan cara SC, karena bagi saya setiap proses kelahiran, baik itu persalinan normal ataupun SC, semua adalah yang terbaik, karena masing-masing memiliki cerita perjuangan yang indah di setiap prosesnya. Big salute saya haturkan juga untuk ibu-ibu para pejuang SC 😊🙏. Semoga ada hikmah positif yang bisa dipetik dari kisah saya ini. Salam baik 😊🙏


Sumber referensi : 

Ibupedia Sakatonik ABC

Selamat Hari Ibu

Tips mengejan selama persalinan 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENANDIKA BLOG SEUMUR JAGUNG

  Seketika aku tampak seperti manusia gua. Aku baru saja tahu ada riuh di luaran sana kala netra memandang lekat pada almanak. Bulan Oktober hari ke 27, ternyata menjadi peringatan "Hari Blogger Nasional" . Berjuta pernyataan "baru tahu, oh ternyata, oh begini" memenuhi cerebrumku. Laun namun pasti, beragam pernyataan itu bersatu menembus lobus frontalku dan terkunci dalam satu pernyataan ringkas : "Masih ada kesempatan untuk  berbagi kesan dan memperingati. Lepaskan saja euforianya dan menarilah dalam aksara bersama para punggawa literasi lainnya" . And voila .. Hari ini di penghujung bulan Oktober tahun 2021, sebuah tulisan sederhana nan receh tersaji di sela waktu membersamai dua balita mungil tercinta. Tentu saja dalam keterbatasan yang asyik. Mengapa begitu?. Mengenang perjalanan blogging dan menuliskannya kembali di sini membuat satu per satu memori terbuka dan merangkak keluar dari dalam kotak pandora. Aku mulai memberanikan diri menginterpretasik

METAMORFOSA MIMPI

(Sumber foto : pixabay) 🍁 DESEMBER 2003 Tetiba rasa ini ada. Mulanya sebiji saja. Sejuta sayang, terlambat kusadari hingga tunasnya berkecambah penuh di dasar hati. Geletarnya terasa bahkan hingga hampir seribu malam sejak detik ini. Aku terjatuh lantas menaruh rasa. Tak ada lagi awan yang mengabu, sebab semua hariku seketika berwarna biru. Sesederhana itu geletar rasa, bisa merubah mimpi buruk menjadi sebuah asa. Bila kalian tanya apa dan bagaimana mimpiku, dengan lantang akan kujawab : DIA ❤. 🍁  FEBRUARI 2006 (Sumber foto : pixabay) Sayonara kuucapkan pada kisah lama. Bak plot twist roman picisan. Hari ini mimpiku sedikit bergeser ke dalam bentuk ekspektasi. Membahagiakan yang terkasih dengan penghidupan yang lebih baik. Iya, senyuman ibunda layak menjadi juara. Kukejar mimpi seperti mengejar bayanganku sendiri. Tak mengapa. Selagi aku terus berusaha menghunjamkan 'akar'nya hingga menembus jauh ke dalam tanah, bukankah sah saja bila aku memiliki mimpi yang menjulang tinggi

SEJAUH MANA KITA LIBATKAN ALLAH DALAM HIDUP KITA?

(Sumber foto : IG @ninih.muthmainnah) Masih terekam jelas dalam ingatan, peristiwa ketika si kecil tetiba terjatuh lantas mengalami kejang hingga tak sadarkan diri. Detik kala itu berlalu sangat cepat, bak sebuah adegan film dengan sekali aba-aba take action tanpa cut dari sang sutradara. Menutup lembaran tahun dalam nuansa yang jauh dari kata indah. Melewati puncak tantrum si kecil di sebuah rumah sakit. Bersamaan dengan pekik suara terompet membelah hening malam, pertanda tahun 2021 telah berlalu dan berganti dengan ucapan selamat datang tahun 2022. Serupa antitesis dalam sebuah fragmen kejadian yang harus dilewati secara bersamaan sekaligus. Satu hal yang membekas dari peristiwa di penghujung tahun lalu, ketika tak satupun jalan keluar kutemui, ternyata hanya di pintuNya-lah tak pernah kutemui jalan buntu. Aku merajuk mengulang pinta dan doa. Sembari menegakkan ikhtiar secara maksimal, kunikmati waktu melambungkan bait-bait doa dalam kepasrahan yang paripurna. Bahwa permata jiwaku