Langsung ke konten utama

MERAWAT EMPATI di MASA PANDEMI, CERMIN WAJAH ISLAM yang SESUNGGUHNYA

(Sumber Foto : Republika.co.id)


Pandemi menghadirkan sejuta cerita sepanjang lebih dari satu tahun terakhir ini. Adalah cerita duka yang lebih banyak mendominasi di dalamnya. Berita kematian hadir tanpa jeda mewarnai hari, berpacu dengan silih berganti suara sirine ambulans yang membelah jalan raya bak simfoni kematian. Setali tiga uang dengan hal itu, keterpurukan situasi ekonomi juga telah meluluhlantakkan hampir seluruh aspek kehidupan dunia, tak terkecuali aspek perekonomian di dalamnya. 

Berdasarkan data dari Satgas Penanganan Covid-19 per 20 Juli 2021, tingginya angka kasus Covid-19 di tanah air juga berdampak pada 11.045 anak-anak yang menjadi yatim/piatu sebab orang tua mereka meninggal karena pandemi ini. Data terbaru menurut Kemensos RI, per tanggal 7 September 2021, jumlah anak yatim piatu akibat Covid- 19 bertambah menjadi 25.202 anak. Sementara data Laman Imperial College London, yang dirangkum Litbang Kompas memprediksi jumlah anak kehilangan orangtua di Indonesia berjumlah 38.127 jiwa. Angka tersebut tidak menutup kemungkinan akan bertambah seiring pendataan oleh pemerintah yang bersifat secara masif dan spesifik ke depannya. Melihat fakta tersebut, adalah tugas kita untuk merangkul para anak yatim tersebut dalam rangka keberlangsungan hidup mereka di masa depan. Pun dengan semakin bertambahnya jumlah kaum dhuafa di dalamnya, ada tanggung jawab besar menanti kita untuk merengkuh mereka.


Sahabat, berkorelasi dari hal tersebut di atas, bila kita mau mentafakuri sejenak tentang hakikat penciptaan diri kita sebagai manusia, tak hanya raga jasmani saja yang perlu untuk dirawat sedemikian rupa. Melainkan tak kalah penting dari itu, rohani kita pun perlu mendapatkan nutrisi jiwa dan perawatan yang utama. Sebab baiknya akhlak yang senantiasa dirawat, secara tidak langsung akan memancarkan aura kebaikan dari dalam diri kita sendiri.


Dan adapun salah satu langkah yang bisa  dilakukan untuk merawat sisi rohani kita tersebut adalah dengan menumbuhkan benih-benih empati di tengah masa sulit seperti sekarang. Ikut berperan serta merangkul para anak yatim dan kaum dhuafa yang terdampak situasi pandemi ini. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena kita semua tengah dihadapkan pada level kesulitan yang berlipat ganda, sebab hampir seluruh manusia di dunia saat ini tengah berjuang dalam tingkat kesulitan yang tak jauh berbeda. Diuji dengan rasa kehilangan sebab berita kematian yang datang tanpa jeda menghampiri orang-orang terdekat di sekitar, berbanding lurus dengan lesunya perekonomian tanah air. Dimana banyak sekali perusahaan yang mengalami pailit dan berimbas pada jamaknya aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga menyebabkan tingginya angka pengangguran di tanah air. Bahkan tak sedikit dari perusahaan-perusahaan tersebut yang mengalami gulung tikar sebab situasi ekonomi yang terpuruk mengakibatkan matinya kegiatan usaha mereka. Allahul Musta'an. 


Namun terlepas dari segala kesulitan itu, bukan berarti rasa empati tak bisa ditumbuhkan. Karena sejatinya, Allah juga telah menyelipkan sepaket hikmah di balik situasi ini. Sesulit apapun keadaan yang saat ini sedang kita hadapi, tak lantas juga serta merta menutup mata hati dari mereka yang membutuhkan uluran tangan kita di luaran sana. 


Dan hamdalah kabar baiknya, sejak pandemi terjadi hingga berlangsung sampai hari ini, satu per satu bermunculan uluran tangan kebaikan bagi mereka yang membutuhkan. Kehadiran sosok-sosok baik tersebut, pun seolah menjadi oase di tengah gersangnya kondisi ekonomi yang  dialami sepanjang kurun waktu hampir dua tahun ini. Hal yang sebelumnya sempat menjadi sebuah ironi sebelum pandemi melanda, dimana banyak terjadi ketimpangan ekonomi antara si miskin dan si kaya. Namun sekarang, justru di masa sulit yang sedang kita rasakan ini, jamak kita saksikan keajaiban itu menjelma lewat aksi-aksi kebaikan sederhana dan nyata terjadi di sekitar kita. 


Adalah sebuah pengalaman berharga ketika beberapa waktu lalu saya mendengar cerita dari kakak perempuan saya tentang seorang kakek penjual jamu keliling yang notabene adalah warga di lingkungan sekitar tempat tinggal kami. Beliau bertutur kepada kakak perempuan saya selepas kegiatannya berjualan jamu kala itu. Dengan binar mata bahagia beliau bercerita bahwa hari itu di perjalanan pulang dengan masih mendorong gerobak jamu miliknya, beliau dihampiri oleh seorang bapak paruh baya yang keluar dari dalam sebuah mobil. Bapak paruh baya tersebut bertanya tentang berapa lama sang kakek memulai usahanya berjualan jamu keliling. Tanpa curiga, sang kakek menjawab bahwa kurang lebih sudah 16 tahun lamanya beliau menjalani usaha tersebut. Obrolan mereka tak berhenti sampai di situ. Tak lama setelahnya, bapak paruh baya itu kembali ke dalam mobilnya dan memanggil seorang perempuan yang tak lain adalah istrinya. Mereka berdua  membawakan bingkisan untuk kakek renta tersebut. Bingkisan yang sepertinya sudah dipersiapkan oleh bapak pemilik mobil untuk orang-orang yang membutuhkan, dan kebetulan hari itu menjadi rezeki tak disangka untuk sang kakek. Masih dengan ekspresi bahagia yang membuncah, kakek penjual jamu itu menuturkan kisahnya kepada kakak perempuan saya tentang isi bingkisan yang diterimanya, diantaranya adalah enam sak beras (beratnya setara dengan 30 kilogram beras), dua box berisi telur ayam, dan sebuah bungkusan berisi kacang hijau mentah. Masya Allah Tabarakallah.


Cerita tentang kakek penjual jamu keliling tersebut membekas dalam ingatan saya sampai hari ini. Betapa tidak, meski saat ini kita tengah berada pada satu masa terpuruk, namun tak menghentikan bentangan sayap-sayap kebaikan itu melebar merengkuh setiap kesusahan yang dihadapi oleh mereka yang membutuhkan. Hal itu sekaligus menjadi sebuah self reminder bagi diri saya pribadi, tak ubahnya warning alert yang mengingatkan sudah sejauh mana level istiqomah tangan kanan saya berderma tanpa tangan kiri saya tahu akan hal itu. Karena betapa di luaran sana, tak sedikit dari mereka yang berbagi untuk sesama, tanpa berharap identitas mereka diketahui oleh siapapun, melainkan hanya mengharap keridhaan Allah semata. Inilah wajah Islam yang sesungguhnya. Berbagi tanpa pamrih. Dan untuk kesekian kalinya, ibrah dari kejadian tersebut menghantam nurani saya. Betapa kerdil diri ini dengan segala pencapaian yang tak seberapa, namun merasa sudah memiliki hak atas kavling surga yang dijanjikan oleh Allah. Masya Allah Laa Quwwata Illa Billah. Ighfirli Ya Rabb…


Sejatinya tiada satupun kejadian di muka bumi ini terjadi tanpa hikmah yang mengiringi. Karena bahkan sehelai daun yang jatuh pun telah tertulis titahnya di Lauhul Mahfudz. Begitu juga dengan adanya pandemi Covid-19 yang hingga hari ini masih membersamai kita. Bila kita mau mentafakuri, betapa banyak ruang ibadah yang sejatinya bisa menjadi ladang pahala untuk kita tanam benih-benih kebaikan di sana. Berbagi tak selamanya harus dengan sesuatu yang mewah. Berbagi lewat hal sederhana juga bukan hal yang tercela. Kita bisa melakukan sesuatu yang sederhana namun sarat kebaikan, seperti yang dilakukan oleh bapak paruh baya yang membagikan paket sembako kepada kakek penjual jamu keliling, tentunya dengan besaran nominal pemberian yang disesuaikan dengan kadar kemampuan dan keikhlasan kita. 


Bersedekah lewat hal kecil namun bila dilakukan secara kontinyu dan istiqomah, justru malah akan memberikan dampak yang luar biasa bagi kita. Selain secara otomatis akan membawa keberkahan atas harta yang kita miliki, bersedekah juga membangun mental kaya dalam diri, dan menghapus dosa-dosa di masa lalu, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda : “Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api” (HR Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi, 614). Tentunya sedekah tersebut juga harus diiringi dengan taubatan nasuha. Sedekah juga bisa menjadi amalan yang menunjukkan rasa syukur seseorang atas segala nikmat dan karunia yang telah Allah berikan untuknya. 


Oleh karena itu, sudah selayaknya pandemi ini menjadi momentum titik balik untuk mengasah rasa kepekaan kita terhadap sesama, menumbuhkan benih-benih empati tersebut dan merawatnya agar tumbuh subur semata karena Allah SWT. Semoga kelak kita bisa menuai hasil akhirnya, menjadi salah satu bagian dari tujuh golongan manusia yang mendapatkan naungan di hari akhir, sebagaimana sabda Rasulullah, dimana salah satu golongan yang dijanjikan naungan dan syafaat di yaumil mahsyar kelak adalah para ahli sedekah.


Masih ada kesempatan untuk memperbaiki jalan yang selama ini mungkin telah salah kita lalui. Selagi napas masih dikandung badan, kesempatan kedua selalu terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin berhijrah menuju jalan kebaikan. Semoga kita dimampukan, merawat rasa empati kita untuk peduli terhadap sesama. Karena bukankah amalan sebiji dzarrah pun telah Allah janjikan pahalanya kelak di yaumil qiyamah?. Akhirul kalam, salam baik. Salam Berbagi.


Sumber Referensi :

https://www.kompas.id/baca/kesehatan/2021/08/23/puluhan-ribu-anak-kehilangan-orangtua/

https://m.republika.co.id/amp/qzfpms384

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENANDIKA BLOG SEUMUR JAGUNG

  Seketika aku tampak seperti manusia gua. Aku baru saja tahu ada riuh di luaran sana kala netra memandang lekat pada almanak. Bulan Oktober hari ke 27, ternyata menjadi peringatan "Hari Blogger Nasional" . Berjuta pernyataan "baru tahu, oh ternyata, oh begini" memenuhi cerebrumku. Laun namun pasti, beragam pernyataan itu bersatu menembus lobus frontalku dan terkunci dalam satu pernyataan ringkas : "Masih ada kesempatan untuk  berbagi kesan dan memperingati. Lepaskan saja euforianya dan menarilah dalam aksara bersama para punggawa literasi lainnya" . And voila .. Hari ini di penghujung bulan Oktober tahun 2021, sebuah tulisan sederhana nan receh tersaji di sela waktu membersamai dua balita mungil tercinta. Tentu saja dalam keterbatasan yang asyik. Mengapa begitu?. Mengenang perjalanan blogging dan menuliskannya kembali di sini membuat satu per satu memori terbuka dan merangkak keluar dari dalam kotak pandora. Aku mulai memberanikan diri menginterpretasik

METAMORFOSA MIMPI

(Sumber foto : pixabay) 🍁 DESEMBER 2003 Tetiba rasa ini ada. Mulanya sebiji saja. Sejuta sayang, terlambat kusadari hingga tunasnya berkecambah penuh di dasar hati. Geletarnya terasa bahkan hingga hampir seribu malam sejak detik ini. Aku terjatuh lantas menaruh rasa. Tak ada lagi awan yang mengabu, sebab semua hariku seketika berwarna biru. Sesederhana itu geletar rasa, bisa merubah mimpi buruk menjadi sebuah asa. Bila kalian tanya apa dan bagaimana mimpiku, dengan lantang akan kujawab : DIA ❤. 🍁  FEBRUARI 2006 (Sumber foto : pixabay) Sayonara kuucapkan pada kisah lama. Bak plot twist roman picisan. Hari ini mimpiku sedikit bergeser ke dalam bentuk ekspektasi. Membahagiakan yang terkasih dengan penghidupan yang lebih baik. Iya, senyuman ibunda layak menjadi juara. Kukejar mimpi seperti mengejar bayanganku sendiri. Tak mengapa. Selagi aku terus berusaha menghunjamkan 'akar'nya hingga menembus jauh ke dalam tanah, bukankah sah saja bila aku memiliki mimpi yang menjulang tinggi

SEJAUH MANA KITA LIBATKAN ALLAH DALAM HIDUP KITA?

(Sumber foto : IG @ninih.muthmainnah) Masih terekam jelas dalam ingatan, peristiwa ketika si kecil tetiba terjatuh lantas mengalami kejang hingga tak sadarkan diri. Detik kala itu berlalu sangat cepat, bak sebuah adegan film dengan sekali aba-aba take action tanpa cut dari sang sutradara. Menutup lembaran tahun dalam nuansa yang jauh dari kata indah. Melewati puncak tantrum si kecil di sebuah rumah sakit. Bersamaan dengan pekik suara terompet membelah hening malam, pertanda tahun 2021 telah berlalu dan berganti dengan ucapan selamat datang tahun 2022. Serupa antitesis dalam sebuah fragmen kejadian yang harus dilewati secara bersamaan sekaligus. Satu hal yang membekas dari peristiwa di penghujung tahun lalu, ketika tak satupun jalan keluar kutemui, ternyata hanya di pintuNya-lah tak pernah kutemui jalan buntu. Aku merajuk mengulang pinta dan doa. Sembari menegakkan ikhtiar secara maksimal, kunikmati waktu melambungkan bait-bait doa dalam kepasrahan yang paripurna. Bahwa permata jiwaku