Langsung ke konten utama

RINDU



Rinai hujan mulai menitik kala aku mengayuh sepeda bututku keluar dari rumah. Sebelum berangkat, istriku berpesan agar aku tak pesimis akan datangnya rezeki. Justru datangnya hujan pagi hari biasanya mendatangkan pembeli yang tak disangka-sangka. Semoga saja…

Kukayuh sepeda sembari nyaring suaraku menjajakan dagangan. "Donaaat… donaaat…." Benar saja, di ujung tikungan sana menanti ibu paruh baya yang wajahnya tak asing lagi bagiku. 


"Wah pas sekali, ada donat yang jadi teman minum teh di kala hujan", ucap Bu Warsih tatkala aku berhenti di depan rumah besarnya. Aku tersenyum dan mempersilahkan beliau memilih varian donat kesukaannya. 


Saat itu pula mengalirlah cerita beliau tentang kesendirian hidup yang saat ini tengah dijalani. Ketiga anaknya sudah berkeluarga dan sukses dalam perjalanan karirnya di luar kota. Sesekali saja mereka datang berkunjung. Faktor kesibukan yang jadi alasannya. Ramadhan enam tahun lalu adalah kali terakhir mereka pulang ke kampung halaman.


Tetiba hatiku tercekat. Mataku memanas menatap raut wajah penuh kesepian itu. Teringat sosok almarhumah Emak yang berpulang sebulan lalu tanpa pertanda sakit. Terbayang gurat wajah renta berbalut selaksa rindu untukku di sisa akhir hidupnya. Hanya saja bedanya bukan karena kesibukan yang jadi penghalang untukku pulang ke kampung halaman, namun luluh lantak kondisi perekonomian akibat pandemi yang membuatku harus menanggung rindu di perantauan hingga kini.


Ah, andai saja anak-anak Bu Warsih itu tahu bahwa perpisahan dengan orang tua yang telah tiada akan menyisakan lubang besar menganga di dasar hati. Seperti yang kurasakan saat ini. Rindu yang selalu menggunung dan hati limbung tanpa tahu hendak kemana lagi harus dihempaskan.


#fiksimini

#2r_talkfiksiminichallenge


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENANDIKA BLOG SEUMUR JAGUNG

  Seketika aku tampak seperti manusia gua. Aku baru saja tahu ada riuh di luaran sana kala netra memandang lekat pada almanak. Bulan Oktober hari ke 27, ternyata menjadi peringatan "Hari Blogger Nasional" . Berjuta pernyataan "baru tahu, oh ternyata, oh begini" memenuhi cerebrumku. Laun namun pasti, beragam pernyataan itu bersatu menembus lobus frontalku dan terkunci dalam satu pernyataan ringkas : "Masih ada kesempatan untuk  berbagi kesan dan memperingati. Lepaskan saja euforianya dan menarilah dalam aksara bersama para punggawa literasi lainnya" . And voila .. Hari ini di penghujung bulan Oktober tahun 2021, sebuah tulisan sederhana nan receh tersaji di sela waktu membersamai dua balita mungil tercinta. Tentu saja dalam keterbatasan yang asyik. Mengapa begitu?. Mengenang perjalanan blogging dan menuliskannya kembali di sini membuat satu per satu memori terbuka dan merangkak keluar dari dalam kotak pandora. Aku mulai memberanikan diri menginterpretasik

METAMORFOSA MIMPI

(Sumber foto : pixabay) 🍁 DESEMBER 2003 Tetiba rasa ini ada. Mulanya sebiji saja. Sejuta sayang, terlambat kusadari hingga tunasnya berkecambah penuh di dasar hati. Geletarnya terasa bahkan hingga hampir seribu malam sejak detik ini. Aku terjatuh lantas menaruh rasa. Tak ada lagi awan yang mengabu, sebab semua hariku seketika berwarna biru. Sesederhana itu geletar rasa, bisa merubah mimpi buruk menjadi sebuah asa. Bila kalian tanya apa dan bagaimana mimpiku, dengan lantang akan kujawab : DIA ❤. 🍁  FEBRUARI 2006 (Sumber foto : pixabay) Sayonara kuucapkan pada kisah lama. Bak plot twist roman picisan. Hari ini mimpiku sedikit bergeser ke dalam bentuk ekspektasi. Membahagiakan yang terkasih dengan penghidupan yang lebih baik. Iya, senyuman ibunda layak menjadi juara. Kukejar mimpi seperti mengejar bayanganku sendiri. Tak mengapa. Selagi aku terus berusaha menghunjamkan 'akar'nya hingga menembus jauh ke dalam tanah, bukankah sah saja bila aku memiliki mimpi yang menjulang tinggi

KILOMETER PERTAMA

Perjalanan rasa hari ini tak hanya bertutur tentang seberapa jauh langkah kaki mengayun. Lebih dari itu, setiap jengkalnya juga bercerita tentang pelajaran menukil butiran hikmah. Bahwa setiap langkah yang terjejak tak hanya menyisakan tapak-tapak basah layaknya pijakan kaki di atas rumput pagi. Melainkan ada tanggung jawab sang pemilik kaki, kemana saja langkah kakinya diayunkan. Ada tempat yang dituju, ada sepotong kenangan yang tertinggal. Sesekali terdengar bisingnya riuh berjelaga di sudut hati, pada tiap-tiap tempat yang membawa rindu pada seseorang yang kini berada dalam dimensi abadi. Langkah terayun kembali. Melintasi barisan pepohonan, pada pucuk-pucuknya menjadi tempat bernaung kawanan burung. Mereka kepakkan sayapnya setinggi angkasa kala pagi buta, untuk kemudian berpulang kembali ke sarangnya kala senja bergegas memeluk bumi dalam nuansa gulita. Sejenak kuhentikan langkah. Bukan untuk melepas penat yang menjalar di saraf-saraf kaki, melainkan untuk mengabadikan momen dari