Kukayuh sepeda sembari nyaring suaraku menjajakan dagangan. "Donaaat… donaaat…." Benar saja, di ujung tikungan sana menanti ibu paruh baya yang wajahnya tak asing lagi bagiku.
"Wah pas sekali, ada donat yang jadi teman minum teh di kala hujan", ucap Bu Warsih tatkala aku berhenti di depan rumah besarnya. Aku tersenyum dan mempersilahkan beliau memilih varian donat kesukaannya.
Saat itu pula mengalirlah cerita beliau tentang kesendirian hidup yang saat ini tengah dijalani. Ketiga anaknya sudah berkeluarga dan sukses dalam perjalanan karirnya di luar kota. Sesekali saja mereka datang berkunjung. Faktor kesibukan yang jadi alasannya. Ramadhan enam tahun lalu adalah kali terakhir mereka pulang ke kampung halaman.
Tetiba hatiku tercekat. Mataku memanas menatap raut wajah penuh kesepian itu. Teringat sosok almarhumah Emak yang berpulang sebulan lalu tanpa pertanda sakit. Terbayang gurat wajah renta berbalut selaksa rindu untukku di sisa akhir hidupnya. Hanya saja bedanya bukan karena kesibukan yang jadi penghalang untukku pulang ke kampung halaman, namun luluh lantak kondisi perekonomian akibat pandemi yang membuatku harus menanggung rindu di perantauan hingga kini.
Ah, andai saja anak-anak Bu Warsih itu tahu bahwa perpisahan dengan orang tua yang telah tiada akan menyisakan lubang besar menganga di dasar hati. Seperti yang kurasakan saat ini. Rindu yang selalu menggunung dan hati limbung tanpa tahu hendak kemana lagi harus dihempaskan.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca artikel ini. Silakan berkomentar dengan santun.