Sumber foto : Alinea.ID
Kalau ditanya peristiwa apa yang membekas dalam ceruk memori dan meninggalkan kenangan menyakitkan hingga detik ini, maka salah satunya adalah peristiwa berpulangnya bapak untuk selamanya. Hampir tiga puluh tahun berlalu namun efeknya terasa sampai hari ini. Sosok cinta pertama bagi anak perempuannya itu berpulang ketika belum genap bilangan usia saya menginjak angka enam tahun. Menuliskan ini tak ubahnya seperti menyibak lembar demi lembar labirin memori dalam lobus frontal kepala saya. Menjelajah mesin waktu menuju tahun 1993, mendengar raung mobil ambulans yang membelah jalan raya menuju ke rumah, lalu saya -dalam sosok kecil berusia lima tahun- menyelinap masuk ke dalam kamar bapak yang entah mengapa kala itu nuansa temaram sekali lengkap dengan sebuah guling besar yang berdiri di salah satu sudutnya. Bapak terbaring lemah di atas ranjang. Kelak ketika dewasa, akhirnya saya tahu bahwa guling besar yang ada di kamar bapak itu adalah tabung oksigen yang berfungsi menyuplai tambahan oksigen dalam rangka mempertahankan metabolisme aerobik para pasien penggunanya.
Waktu berjalan cepat menuju hari ini. Menjalani roller coaster 29 tahun perjalanan hidup tanpa sosok ayah nyatanya memang membawa sensasi tersendiri. Di sisi lain ketika saya tahu perihal sakit yang diderita bapak semasa hidup, seketika hati saya merasa sedih. Kata ibu, sejak muda bapak sudah menjadi perokok aktif. Hingga usia beranjak senja, beliau masih suka merokok. Alhasil, lambat laun sel-sel kanker bersemayam dalam tubuh beliau. Boom!!! Tak butuh waktu lama, keadaan beliau semakin terpuruk. Serangkaian pengobatan tak membawa hasil positif. Sel-sel kanker mengganas, tak mau berkompromi lagi. Bapak berpulang sebagai penyintas kanker paru-paru.
BERAWAL DARI SEPUNTUNG, BERAKHIR DENGAN BUNTUNG
Sumber foto : sardjito.co.id
Efek traumatis yang terasa sejak kepergian almarhum bapak membawa saya pada satu momen untuk berkontemplasi tentang bahaya yang ditimbulkan oleh produk zat adiktif bernama rokok. Kandungan racun dalam sebatang rokok yang terdiri dari 4.000 jenis senyawa kimia, 70% diantaranya bersifat karsinogenik ternyata tak hanya menjadi pemicu nomer satu penyakit kanker paru-paru, namun juga gangguan kesehatan lainnya. Kandungan tar, nikotin dan bahan kimia lain yang saling bersenyawa itu juga bisa memicu penyakit kardiovaskular seperti stroke dan jantung, melemahkan sistem imunitas tubuh, menyebabkan gangguan dalam sistem pernapasan dan reproduksi, bahkan berpotensi meningkatkan stunting pada anak. Ajaibnya, walaupun seluruh media sudah seringkali mengabarkan tentang bahaya rokok, namun tak serta merta membawa efek jera bagi para pecintanya. Sebaliknya semakin banyak saja yang merasa candu, tak terkecuali dengan anak-anak.
Kalau dulu pecinta rokok didominasi oleh kaum usia dewasa hingga lansia, maka di era sekarang, para produsen rokok juga menyasar mereka yang masih di bawah umur, alias anak-anak usia sekolah, bahkan pernah dijumpai anak usia balita yang sudah merokok. Sebuah ironi ketika kita mengupas satu per satu fakta miris tentang hal tersebut. Sayangnya, masih belum hilang keterkejutan saya akan fenomena itu, kenyataan lain yang saya jumpai siang kemarin semakin memperkuat bukti bahwa negara kita sedang berada dalam fase darurat perokok anak.
PILAR PERTAMA ITU BERNAMA KELUARGA
Sumber foto : by. Pinterest
Dio, demikian ia disapa. Anak tetangga yang baru menginjak delapan tahun usianya itu saya jumpai tengah mengembuskan asap rokok dari rokok elektrik yang dihisapnya. Tak jauh dari kerumunan puluhan penonton lomba peringatan hari kemerdekaan, ia melancarkan aksinya. Tanpa malu, malah seolah bangga. Tak lama, salah satu kawan sebayanya menghampiri dan bernegosiasi untuk mencoba sensasi rokok elektrik milik Dio. And voila… dalam kurun waktu sekejap, sudah ada dua bocah di bawah umur yang merokok di depan mata saya.
Sepertinya tak ada warga yang memperhatikan aksi Dio dan kawannya itu, sebab mereka semua tengah larut dalam kemeriahan lomba. Pun dengan saya. Riuh rendah suara penonton lomba, dan akses yang terbatas untuk menjangkau kedua bocah itu membuat saya tak bisa berbuat apa-apa. I do nothing. Tak berselang lama, ia menghilang dari pandangan saya.
Saya menghela napas panjang. Bila merunut pada satu peristiwa, maka pasti ada satu peristiwa lain yang telah mengawali sebelumnya. Fenomena yang saya jumpai kemarin siang sekaligus telah menampar nurani saya sebagai seorang ibu. Semuanya terasa saling berkorelasi ketika mengetahui tumbuh kembang Dio yang dibesarkan dalam keluarga yang timpang kasih sayang. Ayahnya sudah lama tak pernah terlihat batang hidungnya meski notabene adalah penduduk asli di kampung saya. Sementara ibunya bekerja sebagai tukang ojek langganan para tetangga. Perempuan berusia tiga puluh tahunan itu juga seorang perokok aktif yang tak segan merokok di depan umum. Disinilah benang merahnya. Dio kecil mengenal rokok justru dari orang terdekatnya. Circle pergaulan dan faktor lingkungan menjadikannya tumbuh menjadi bocah liar, apalagi sejak ia putus sekolah setahun lalu. Keluarga yang diharapkan bisa menjadi tempat bergelimang kasih sayang, justru menjadi pintu neraka pertama yang siap menjerumuskannya pada bayang-bayang masa depan suram.
Anak adalah peniru ulung. Ia akan menduplikasi setiap perilaku orang-orang terdekatnya, termasuk kedua orang tuanya.
"Sebenarnya, tak ada yang salah dengan perilaku meniru, karena pada dasarnya meniru adalah proses pembelajaran alami semua makhluk hidup," (Rosdiana Setyaningrum, M.Psi, MHPEd - Psikolog Anak dan Keluarga)
Namun yang perlu digarisbawahi, justru karena kita adalah role model bagi anak-anak kita, maka kita jugalah yang akan memutuskan perilaku seperti apa yang ingin kita wariskan kepada mereka. Bukankah pilar pertama pengasuhan seorang anak adalah berasal dari keluarganya?
Terjawab sudah pada kasus Dio ketika ketimpangan kasih sayang, lingkungan yang buruk dan faktor ekonomi menjadi pencetus mengapa ia bisa tumbuh menjadi bocah liar dan perokok aktif. Tanpa bermaksud mencibir aksi negatifnya, karena bahkan anak-anak kita juga memiliki potensi untuk menjadi Dio-Dio yang lain bila kita sebagai orangtua salah dalam proses membersamai mereka. Ibarat seekor burung, sayapnya patah bukan karena tertembak senapan para pemburu liar, melainkan semata dipatahkan langsung tanpa ampun oleh induknya. Sebuah pengingat yang harus kita pegang teguh sampai kapanpun.
URGENSI REVISI PP 109 Tahun 2012 MENJADI SETITIK ASA UNTUK ANAK-ANAK KITA
Sumber foto : arahkata.com
Mengutip hasil survey Global Addults Tobacco Survey (GATS) bahwa jumlah perokok Indonesia sebanyak 70,2 juta orang pada 2021 lalu. Pun dengan jumlah perokok anak yang terus meningkat dari tahun ke tahun. 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun. Bila hal itu dibiarkan, maka prevalensi jumlah perokok anak akan semakin bertambah setiap tahunnya. Selaras dengan hal itu, data dari Institute for Health Metric and Evaluation pada tahun 2019 menyebutkan bahwa kematian akibat rokok juga semakin meningkat.
"Enam dari sepuluh angka kematian tertinggi (stroke, jantung, diabetes, PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), hipertensi, dan kanker) disebabkan oleh rokok." (Institute for Health Metric and Evaluation, 2019)
Di sisi lain sebenarnya Indonesia telah memiliki payung hukum berupa ketetapan PP 109 Tahun 2012 tentang pengamanan zat adiktif. Namun sayangnya, regulasi tersebut masih belum sepenuhnya mampu mengontrol jumlah perokok anak dan resiko kematian yang ditimbulkan oleh rokok. Pengaturan iklan produk tembakau pada PP 109 Tahun 2012 masih sangat lemah dan belum mengacu pada praktik terbaik yang pernah ada. Sementara di sisi lain, promosi iklan inilah yang menjadi strategi pemasaran industri rokok untuk mengenalkan produk mereka kepada para konsumen, khususnya kalangan newbie atau pemula.
"Tiga dari empat remaja mengetahui iklan rokok dari media online. Sementara 31,85% diantaranya terpengaruh untuk merokok" (Stikom LSPR, 2019)
Iklan rokok, baik konvensional maupun elektrik masif menyasar berbagai media. Setali tiga uang dengan billboard, videotron dan sejumlah flyer bertema rokok sebagai panutan gaya hidup anak muda masa kini yang juga masih menghias di mana-mana. Belum lagi penjualan rokok batangan secara bebas yang turut andil dalam memudahkan anak membeli produk rokok. Itu artinya PHW (Pictorial Health Warning) atau peringatan kesehatan bergambar pada produk rokok menjadi tidak efektif lagi terlihat karena hal tersebut. Larangan terkait penjualan rokok batangan juga belum dimuat dalam PP 109 Tahun 2012. Perlu ada norma pengaturan baru berkaitan dengan larangan penjualan rokok batangan pada revisi PP 109 Tahun 2012.
Webinar dalam rangka Hari Anak Nasional 2022 yang diadakan oleh Yayasan Lentera Anak pada 28 Juli 2022 lalu
Sikap tegas pemerintah selaku pemangku kebijakan diperlukan dalam hal ini, yakni ketegasan dalam hal menyegerakan proses revisi PP 109 Tahun 2012. Regulasi yang menjadi pintu gerbang pengendalian konsumsi zat adiktif utamanya berfungsi sebagai pelindung generasi muda Indonesia dari gempuran industri rokok. Bila hal itu dilakukan, bukan hal yang tidak mungkin cita-cita pemerintah dalam menurunkan jumlah prevalensi perokok anak akan bisa terwujud, sebagaimana termaktub dalam RPMJN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2020-2024.
Masih terkait dengan sistem regulasi, maka perlu juga langkah berani pemerintah untuk secara bertahap menghapuskan iklan promosi yang berbau sponsorship dalam bentuk beasiswa bertema olahraga, karena hal tersebut tak ubahnya bagian dari upaya manipulasi yang dilakukan oleh industri rokok dalam menormalisasi produknya agar senantiasa diterima dalam masyarakat. Memang tak semudah menjentikkan jari karena kita tahu bahwa selama ini reward berbalut beasiswa bertema olahraga tersebut yang telah memberikan kontribusi besar untuk bangsa ini. Tetapi bila ditimbang baik-buruk manfaatnya, ada harga yang sangat mahal untuk sebuah masa depan bernama generasi muda yang harus dibayarkan kelak.
Terakhir, tak kalah penting dari itu semua adalah perubahan perilaku. Mengingat tujuan esensial pengendalian tembakau adalah pengendalian atas konsumsi produknya, maka otomatis perlu adanya proses edukasi secara berkelanjutan tentang bahaya rokok, baik itu di rumah, sekolah maupun ruang publik kepada masyarakat luas. Sekali lagi, butuh effort dan kontribusi yang luar biasa dari seluruh pihak agar semua itu bisa terwujud. Sebagaimana yang dilakukan oleh FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) Indonesia bersama Yayasan Lentera Anak yang terus bergerak aktif dan concern melindungi generasi masa kini dan mendatang dari dampak negatif rokok. Kiprah mereka terayun nyata dalam setiap implementasi tindakan khususnya dalam pemberian edukasi tentang bahaya rokok, pun juga dukungannya kepada pemerintah untuk segera melakukan proses revisi PP 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif. Mengingat darurat perokok anak bukan lagi sebuah ancaman, melainkan keniscayaan bila masing-masing pihak abai untuk saling peduli. Mari lindungi anak-anak kita sekarang juga sebelum terlambat. Karena kalau bukan hari ini, lantas kapan lagi?
Sumber Referensi :
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20220729/4940807/perokok-anak-masih-banyak-revisi-pp-tembakau-diperlukan/
https://krakataumedika.com/info-media/artikel/bahaya-rokok-bagi-kesehatan
https://dinkes.surakarta.go.id/bahaya-dan-dampak-asap-rokok-di-dalam-rumah/
Ya! anak-anak adalah copy cat ulung. Wah aku juga miris kalau lihat anak di bawah umur udah jadi perokok aktif. Meskipun itu elektrik mah sama aja. Ini tantangan kita bersama gimana caranya agar kita ikut ambil peran bukan malah tak peduli.
BalasHapusYup, sepakat sekali mba Lintang. Anak adalah peniru ulung. Tantangan akhir zaman yang semakin berat, sedih sekali melihat fakta miris tentang perokok anak yang semakin hari semakin banyak jumlahnya.
HapusSedih ya Mbak rasanya. Anak sekecil Dio sudah merokok dengan santainya. Bahkan kondisi seperti ini pun belum tentu benar bila diatasi dengan pendekatan langsung ditegur misalnya. Melihat latar belakangnya bahwa ia pun mencontoh dan dipengaruhi dari lingkungan terdekatnya, pengarahannya pun cukup sulit menurut saya.
BalasHapusBenar sekali mba, sulit karena support system dari faktor lingkungan yg kurang mendukung. Perlu pendampingan dan proses edukasi yang kontinyu dari pihak ketiga untuk tumbuh kembang Dio ke depannya.
HapusNah iya biasanya anak-anak mencontoh orang yang lebih besar, termasuk merokok.
BalasHapusKadang anak nyoba-nyoba merokok dengan mencoba rokok yang sudah tinggal sedikit (puntung) yang dibuang orang dewasa begitu saja.
Iya butuh beragam pihak untuk melindungi anak dari paparan kebiasaan merokok.
Sangat sepakat. Butuh support system dari seluruh pihak untuk mengedukasi dan membersamai proses tumbuh kembang Dio.
HapusTurut berduka cita untuk Bapaknya, Mba Iin, Bapak saya juga perokok berat dan sama penyebab meninggalnya, kanker paru-paru. Semasa hidup, beliau sudah lama ingin berhenti merokok, tapi nggak sanggup karena sudah jadi perokok sejak usia remaja. Mau gimana lagi? Kita, sebagai anak-anaknya, sebaiknya janganlah mengikuti jejak yang salah, supaya kelak keturunan kita pun nggak meniru.
BalasHapusTerima kasih untuk penguatannya mba. Benar sekali. Peristiwa berpulangnya bapak benar-benar menjadi pelajaran untuk ke depannya. Jadi lebih berhati-hati jangan sampai terulang kejadian yang sama pada anak cucunya
HapusAyah saya pun perokok aktif, mba, dulunya. Setelah sakit diabetes baru berhenti total karena ngefek ke lambungnya. Miris dan sedih banget kalo denger cerita anak-anak kecil sudah merokok. Memang pendidikan utama itu datangnya dari rumah, saya sebagai ortu nggak boleh males-malesan nih untuk mendampingi anak di usia dininya..
BalasHapusSemoga ayahanda mba Isma senantiasa diberikan kesehatan. Tantangan menjadi orangtua di zaman milenial memang berat sekali. Harus senantiasa keep in touch dengan anak-anak agar mereka tidak terjerumus dalam pergaulan yang salah.
HapusJadi ingett kakekku juga mbaa, gimana racun dari nikotin itu menggerogoti paru2nya. bahkan sampai meninggal kakekku masiiih ajaa ngerokok :((
BalasHapusTurut berduka cita untuk beliau. Sedih sekali ya mba ketika tahu bahwa orang yg kita sayangi harus berpulang dalam keadaan sakit yang parah, yang notabene awal sakit itu bermula dari habit yg salah semasa hidupnya.
HapusPingin nangis dan teriak. Lahir dari bapak yang juga perokok tapi Alhamdulillah sudah berhenti di usia ke-50 an tapi masih banyak saudara-saudara yang masih jadi perokok pasif. Miris tapi ini realitanya
BalasHapusNah ini juga poinnya, perokok pasif juga ga kalah serem faktor resikonya. Dan faktanya banyak anak kecil terutama bayi yang terpapar asap rokok justru dari orang-orang terdekatnya.
HapusDulu sempat lihat anak tetanggaku yang lagi asyik merokok juga, Mbak. Aku lihat² kok mereka asyik dengan rokoknya meskipun itu puntung rokok setelah kuamati. Yap mereka mungkin melihat orang tuanya juga merokok jadi ikut²an seperti itu. Aduh......
BalasHapusYess.. Karena anak-anak adalah peniru ulung yang pandai dan dengan cepat menduplikasi setiap perilaku orang di sekitarnya tanpa tahu perilaku tersebut salah atau benar.
HapusSaya termasuk salah satu orang yang alergi dengan rokok, langsung sesak kalau sudah menghisap rokok. Saya suka miris saja jika ada orangtua yang kurang paham tentang bahaya rokok mereka mereka depan anak-anaknya yang masih kecil. Termasuk juga orang2 yang merokok di area umum. Sepertinya peraturan harus wajib ditegakkan untuk memberikan sanksi kepada perokok di area umum karena sudah mengganggu yang lainnya
BalasHapusSebenarnya sudah ada larangan merokok di dalam fasilitas umum, namun tidak sepenuhnya efektif karena buktinya masih banyak yang melanggar. Perlu dipertegas lagi tentunya merujuk juga korelasinya dengan PP 109 tahun 2012.
HapusSaya dari dulu nggak suka sama asap rokok. Eh, masku malah jadi perokok sejak patah hati :3. Maka, sejak saat itu aku sama masku tiap di rumah mesti bacot-bacotan tentang asap rokok yang masuk ke rumah. Sedih sama anak-anaknya sih
BalasHapusKasihan anak-anaknya yang juga secara langsung jadi perokok pasif. Nyesek banget kalau udah bau asap rokok
HapusTantangan anak masa kini bukan hanya rokok konven, tapi juga vape yang menjadi bagian dari lifestyle.
BalasHapusSemoga anak-anak kita dijauhkan dari pengaruh yang tidak sehat dari lingkungannya begini. Sungguh rokok gak ada manfaatnya sama sekali selain kepuasaan sesaat.
Makin canggih inovasi rokok untuk menjerat generasi muda jaman sekarang. Kalau dulu rokok komvensional udah wah, sekarang rokok elektrik juga jadi primadona di kalangan anak muda.
Hapusbener sekali dari sudut pandang psikologi meniru itu memang cara manusia belajar awalnya. bayi melihat bagaimana orang di sekitarnya bukan hingga jadi balita dan beranjak dewasa.
BalasHapusngeri emang rokok itu sedih karena jaid inget ortu juga mbak
Iyaa, bener-bener ada di fase darurat perokok anak negara kita ini mba. Sedih banget lihat perokok anak yang makin banyak jumlahnya.
Hapusdan rasa rasanya pengn bilang ke pabrik2 rokok itu buat menutup pabrik mereka, tapi apa daya karena (maaf) mereka jug apenyumbang dana juga ke APBD ya hiks dan lagi nih, para perokok aktif dan susah untuk dihentikan
HapusMasa kecilku juga akrab dengan rokok mba karena bapak perokok, tapi sekarang hepi karena suami ga merokok eh malah adiku yg ga bisa lepas dari rokok.
BalasHapusNah itu dia, efek addict nya rokok ini memang bener-bener bikin candu. So, bagi mereka yg dulunya mantan perokok terus tiba-tiba berhenti merokok, pasti effortnya luar biasa sekali mba Nyi.
HapusAnak-anak tuh memang belom paham apa-apa, jadi apa yang dilihat ya itu yang dia mengerti. Sedih banget lihat anak udah ngerokok. Aku juga hidup di lingkungan perokok, tapi papaku ga pernah merokok depanku saat aku kecil.
BalasHapusBener sekali mba Listi. Anak-anak adalah sebaik-baik peniru. Mereka menduplikasi apa-apa yang mereka lihat tanpa tahu faktor resiko yg mengintai mereka.
Hapus