Langsung ke konten utama

SYAWAL 1442 H




Gema takbir berkumandang di seantero raya. Bahagia seketika menyeruak memenuhi batin. Tuntas sudah peperangan ini. Perang melawan hawa nafsu selama tiga puluh hari. Terbayang sedapnya aroma kuah opor dipadu lezatnya rendang hidangan khas Lebaran. "Ah nikmatnya...." Tanpa sadar liurku terteguk kembali meluncur ke ruas kerongkongan. Tak sabar menanti esok hari.

Sembari menikmati euforia malam kemenangan, kubuka gawaiku dan mulai berselancar menjelajah dunia lewat benda mini ajaib ini. Berita selebritis yang gagal merayakan momen mudik sebab pandemi, ragam iklan situs belanja online menawarkan diskon banting harga aneka produk dan pernik khas lebaran hingga kemacetan sejumlah titik rawan di tanah air, semuanya tersaji lengkap di portal berita online yang tengah kubaca. Tak ada yang istimewa, hingga mataku bersirobok dengan berita duka menyayat hati. Gaza diserang kembali malam ini. 

Hamzah Nassar, demikian nama yang tersemat pada bocah sebelas tahun itu. Ia menjadi salah satu korban yang berpulang sebelum sempat menyantap halawiyat lezat menu berbuka puasanya. Hidangan syahid menjemputnya kala Gaza memerah saga. Ia pergi dengan seutas senyum yang membawa rasa entah.

Siapa tak cemburu? Aku merasa kerdil seketika. Apalagi hatiku. Penuh jelaga pekat tanpa rongga. Betapa aku telah menabur garam di atas luka saudaraku. Aku yang beberapa menit lalu telah jumawa, merasa telah memenangkan peperangan hebat tiga puluh hari. Nyatanya tiada seujung kuku dengan perjuangan mereka di belahan bumi sana.

Lidahku mendadak kebas. Tiada lagi hasrat membuncah untuk semangkuk opor dan rendang esok hari. Terngiang paradoks air mata kehilangan yang berpacu di antara genangan sungai darah di bumi Palestina.

#fiksimini
#2r_talkfiksiminichallenge
#syawal

EPILOG 
Mengenang tragedi berdarah serangan Gaza di penghujung Ramadhan tahun lalu dimana menelan sejumlah korban jiwa, tak terkecuali anak-anak. 

Komentar

  1. Duka mendalam untuk tragedi berdarah serangan Gaza yang menelan sejumlah korban jiwa, tak terkecuali anak-anak. Semoga saudara-saudara kita di sana selalu dalam perllndungan Allah SWT

    BalasHapus
  2. Apalah kita ya Mbak kalau melihat tragedi di Gaza sana😭 Semoga mereka mati dalam keadaan syahid, Allah ampuni segala dosa-dosa mereka dan ditempatkan di tempat terbaikNya. Aamiin

    BalasHapus
  3. dibandingkan dengan saudara kita di Gaza, kita memang ga ada apa-apanya. Kita harus senantiasa bersyukur dengan kondisi kita sekarang dengan cara memaksimalkan ibadah. Kalau masih malas beribadah, entah udzur apa yang bisa kita sampaikan saat hari pembalasan kelak.

    BalasHapus
  4. Ikut pilu merasakan duka derita saudara kita di Palestina sana. Iya, apalah kita yang tak ada seujung kukunya perjuangan mereka yang berada di daerah konflik seperti itu.

    BalasHapus
  5. Selalu sedih dan merasa tidak ada apa-apanya dibanding dengan pejuang di Gaza.
    Dari mulai anak-anak hingga dewasa, laki-laki hingga perempuan, semua berjihad di jalan Allah.
    Semoga Allah muliakan saudara-saudari kita yang meninggal membela agama Allah.

    BalasHapus
  6. Wah diikutin challenge di IG 2RTalk mb Riawani Elyta ya? gimana menang kah? Semangat terus nulisnya ya.

    Sedih bayangin gimana keadaan di Gaza, ketika mau idul fitri tetapi gak bisa sebebas di sini saat mau merayakannya.

    BalasHapus
  7. Kita sangat beruntung ya tinggal di negara Indonesia yang cukup aman sehingga dapat merayakan lebaran dengan tenang, sementara saudara kita di sana di Gaza tidak sebabas kita dalam merayakan Idul Fitri ini

    BalasHapus
  8. Sedih yaa kalau mendengar berita dari Palestina. Kita yang mudah untuk beribadah di sini, semoga bisa selalu mengulurkan tangan untuk mereka, setidaknya doa2 di setiap sholat.

    BalasHapus
  9. Bener mbak, rasanya kita nggak ada apa-apanya dibandingkan saudara-saudara kita di Gaza. Jangan putus berdoa untuk mereka disana.

    BalasHapus
  10. Bagaimana proses perjuangan Nassar ini, Mbak? Tidak mau kalah dengan mereka, bismillah semoga optimal berjuang di ranah literasi.

    BalasHapus
  11. Laily Fitriani08 Juni, 2022 09:58

    Bagus banget fiksi mininya Mbak. Keren, karena konfliknya dapat walau konflik dari diri si "Aku" yaa

    BalasHapus
  12. Kalau ikutan fiksi mini challenge gini seru ya, Mbak. Jadi keluar ide dan lebih terasah mengolah katanya. Tertantang karena fiksinya mesti memenuhi kriteria fiksi mini.

    BalasHapus
  13. Gaza, negeri para Nabi. Semoga Allah anugerah kan kemenangan umat Islam di sana. Aamiin

    BalasHapus
  14. Selalu sedih dan merasa tidak ada apa-apanya kesusahan dan kesedihan yang kita alami dibanding dengan pejuang di Gaza.

    BalasHapus
  15. memang kita harus banyak-banyak bersyukur ya. meskipun diterjang pandemi, penderitaan di sini sepertinya tidak sebanding dengan di gaza.

    BalasHapus
  16. Semua akan menuju akhir, tapi tidak ada yang tau kita menuju akhir bagaimana. Semoga kita semua menuju akhir dalam keadaan khusnul khatimah ya

    BalasHapus
  17. Membaca cerita para pejuang di Gaza selalu membuat hati kita pilu ya, mbak. Sebagai sesama muslim tentunya kita berharap Gaza dan Palestina bisa segera damai dari serangan israel

    BalasHapus

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca artikel ini. Silakan berkomentar dengan santun.

Postingan populer dari blog ini

SENANDIKA BLOG SEUMUR JAGUNG

  Seketika aku tampak seperti manusia gua. Aku baru saja tahu ada riuh di luaran sana kala netra memandang lekat pada almanak. Bulan Oktober hari ke 27, ternyata menjadi peringatan "Hari Blogger Nasional" . Berjuta pernyataan "baru tahu, oh ternyata, oh begini" memenuhi cerebrumku. Laun namun pasti, beragam pernyataan itu bersatu menembus lobus frontalku dan terkunci dalam satu pernyataan ringkas : "Masih ada kesempatan untuk  berbagi kesan dan memperingati. Lepaskan saja euforianya dan menarilah dalam aksara bersama para punggawa literasi lainnya" . And voila .. Hari ini di penghujung bulan Oktober tahun 2021, sebuah tulisan sederhana nan receh tersaji di sela waktu membersamai dua balita mungil tercinta. Tentu saja dalam keterbatasan yang asyik. Mengapa begitu?. Mengenang perjalanan blogging dan menuliskannya kembali di sini membuat satu per satu memori terbuka dan merangkak keluar dari dalam kotak pandora. Aku mulai memberanikan diri menginterpretasik

METAMORFOSA MIMPI

(Sumber foto : pixabay) 🍁 DESEMBER 2003 Tetiba rasa ini ada. Mulanya sebiji saja. Sejuta sayang, terlambat kusadari hingga tunasnya berkecambah penuh di dasar hati. Geletarnya terasa bahkan hingga hampir seribu malam sejak detik ini. Aku terjatuh lantas menaruh rasa. Tak ada lagi awan yang mengabu, sebab semua hariku seketika berwarna biru. Sesederhana itu geletar rasa, bisa merubah mimpi buruk menjadi sebuah asa. Bila kalian tanya apa dan bagaimana mimpiku, dengan lantang akan kujawab : DIA ❤. 🍁  FEBRUARI 2006 (Sumber foto : pixabay) Sayonara kuucapkan pada kisah lama. Bak plot twist roman picisan. Hari ini mimpiku sedikit bergeser ke dalam bentuk ekspektasi. Membahagiakan yang terkasih dengan penghidupan yang lebih baik. Iya, senyuman ibunda layak menjadi juara. Kukejar mimpi seperti mengejar bayanganku sendiri. Tak mengapa. Selagi aku terus berusaha menghunjamkan 'akar'nya hingga menembus jauh ke dalam tanah, bukankah sah saja bila aku memiliki mimpi yang menjulang tinggi

KILOMETER PERTAMA

Perjalanan rasa hari ini tak hanya bertutur tentang seberapa jauh langkah kaki mengayun. Lebih dari itu, setiap jengkalnya juga bercerita tentang pelajaran menukil butiran hikmah. Bahwa setiap langkah yang terjejak tak hanya menyisakan tapak-tapak basah layaknya pijakan kaki di atas rumput pagi. Melainkan ada tanggung jawab sang pemilik kaki, kemana saja langkah kakinya diayunkan. Ada tempat yang dituju, ada sepotong kenangan yang tertinggal. Sesekali terdengar bisingnya riuh berjelaga di sudut hati, pada tiap-tiap tempat yang membawa rindu pada seseorang yang kini berada dalam dimensi abadi. Langkah terayun kembali. Melintasi barisan pepohonan, pada pucuk-pucuknya menjadi tempat bernaung kawanan burung. Mereka kepakkan sayapnya setinggi angkasa kala pagi buta, untuk kemudian berpulang kembali ke sarangnya kala senja bergegas memeluk bumi dalam nuansa gulita. Sejenak kuhentikan langkah. Bukan untuk melepas penat yang menjalar di saraf-saraf kaki, melainkan untuk mengabadikan momen dari